0 4 min 6 yrs

Dua minggu lalu, tepatnya Minggu, 13 Mei 2018, umat Mater Dei berziarah Paroki dengan pelayanan misa Novena PSE di Gua Maria Fatima Paroki Hilarius Klepu Ponorogo. Dalam perjalanan menjelang sampai,bunyi hp thiangthiung mengisyaratkan adanya pesan masuk. Sungguh mengagetkan, terjadi bom bunuh diri di Gereja Santa Maria tak Bercela Ngagel Surabaya. Tercekat dan terbayang kengerian yang ditebarkan oleh aksi teror tersebut, apalagi pemberitaan yang simpang siur  membuat semakin gaduh dan panik. Apalagi bagi mereka yang memiliki kenangan, kerabat, dan teman yang ada di sekitar gereja tersebut. Kemarahan timbul juga karena adanya komentar sinis tentang aksi tersebut sebagai pengalihan issue, settingan, dan dipertanyakan sebagai tragedi atau komedi.

Mereka sesaudara, sekeuskupan, dan sebagian dari saya memiliki kedekatan emosional: mengenal Romo Kurdo, pernah misa di sana, pernah jaga parkir di sana, bersebelahan dengan kompleks susteran dan sekolah-sekolah Santa Clara milik Missionaris Claris, punya anak, sanak, saudara yang tinggal sekitar gereja dan di Surabaya. Hal ini menimbulkan kepanikan dan duka yang mendalam sebagai bentuk peduli dan simpati.

Evan, Nathan, dan Bayu  adalah korban yang menyisakan duka mendalam terutama bagi dua perempuan: Wenny Angelina Hudojo, ibu Evan dan Nathan dan Monique Dewi Andini, istri Bayu yang ditinggali dua anak yang harus tetap hidup dan dihidupi.

Mereka menjadi korban dan bisa menerima keadaan dengan ikhlas. Kita perlu belajar dari Angel ’malaikat’ dan Dewi ’dewa perempuan’ bermatereikan kesucian dan keillahian.

Kemalaikatan Ibu Wenny tampak ketika memeluk kedua putranya pada upacara penutupan peti dengan kondisi tak berdaya di tempat tidur rumah sakit yang dibawa serta dalam ambulans. Tanpa air mata karena air matanya sudah habis, menyentuh wajah Evan dan Nathan dan mengelus  kaki putranya yang diamputasi. Ketegaran dan keikhlasan seorang ibu yang sungguh menyentuh sukma. Tak terperikan pergolakan batin antara marah dan ikhlas, antara sedih dan menerima. Antara duka dan murka.  Sungguh hati malaikat yang bisa berbuat seperti ini. Untuk memulihkan hidupnya yang koyak dan tercabik Ibu Wenny memutuskan untuk membasuh jiwa di rumah retret Tumpang Malang. Langkah bijaksana dengan berserah kepada Allah sungguh indah.

Satu lagi perempuan sebagai korban yang kehilangan belahan jiwanya, suami, penyokong, dan tulang punggung keluarga yaitu Mbak Monic yang dewi. Kedewiannya teruji dengan menghadapi masa depan yang tak terbayangkan, namun ia ikhlas. Ilmu ikhlas yang hanya bisa diperoleh oleh hati seorang dewi. Ikhlas dengan beban tanggung jawab membesarkan dua buah hatinya yang belum njawa dengan apa yang terjadi pada ayah dan dirinya. Semoga Mbak Monic dengan kedewiannya mampu melanjutkan hidup dengan dukungan banyak pihak, teristimewa berserah kepada Allah.

Setiap orang yang mampu menemukan berkah di balik musibah, mampu menerima keadaan yang tak terelakkan sebagai teguran Tuhan agar semakin mulia. hanyalah orang -orang pethingan. Ibu Wenny Angelina Hudojo dan Mbak Monique Dewi Andini adalah orang-orang pethingan, orang-orang pilihan Tuhan sebagai martir yang hidup sehingga Tuhan semakin dipermuliakan. Tuhan Memberkati. (Agnes Adhani)