Siaran Pembinaan Bahasa Indonesia yang diselenggarakan di RRI Pro 1 Madiun. Acara yang secara rutin seminggu sekali diadakan dalam rangka menumbuhkan rasa mencintai bahasa Indonesia.
Pada edisi Senin, 9 Maret 2020, acara yang dibawakan dengan suasana serius tapi santai, dipandu oleh Bu Ninik sebagai penyiar dan Agustinus Djokowidodo, S.S., M.Pd. sebagai narasumber. Pada edisi ini yang menjadi topik pembahasan yaitu ketaksaan.
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (1990: 27), Ketaksaan atau ambiguitas diartikan sebagai 1) sifat atau hal yang berarti dua: kemungkinan yang mempunyai dua pengertian; taksa; 2) ketidaktentuan; ketidakjelasan; 3) kemungkinan adanya makna yang lebih dari satu atas suatu karya sastra; 4) kemungkinan adanya makna lebih dari satu di sebuah kata, gabungan kata, atau kalimat. Dapat juga dikatakan bahwa ketaksaan atau ambiguitas adalah kata yang bermakna ganda atau mendua arti. Bentuk utama ketaksaan, yakni berhubungan dengan fonetik, gramtikal, dan lesikal. Ketaksaan pada tingkat Fonetik ini terjadi karena membaumya bunyi-bunyi bahasa yang diucapkan. Hal ini bisa menimbulkan keraguan makna, misalnya ‟kapan emas kawinnya?”, ‟Yang berdiri di depan kakak ibu”
Ungkapan ‟kapan emas kawinnya?” dapat ditafsirkan salah apabila kita tidak memperhatikan konteksnya. Apabila pengucapannya terlalu cepat, hal itu bisa ditafsirkan
menjadi kapan emas kawin (benda) akan diberikan kepada pengantin misalnya atau mungkin penafsirannya ke arah kapan seseorang yang dipanggil mas (kakak laki-laki) tersebut akan menikah. Kalimat ‟Yang berdiri di depan kakak ibu”. Kalimat ini jika pengucapannya tidak dibatasi oleh jeda akan dapat ditafsirkan bahwa yang berdiri di depan itu kakak dari ibu (paman/bibi) atau bisa juga ditafsirkan „yang berdiri di depan kakak itu adalah ibu‟.
Ketaksaan gramatikal muncul ketika terjadinya proses pembentukan satuan kebahasaan, baik dalam tataran morfologi, kata, frasa, kalimat maupun paragraf dan wacana. Berikut adalah contoh ambiguitas gramatikal :Ambiguitas pada pembentukan kata, yang disebabkan oleh peristiwa pembentukan kata secara gramatikal. Misalnya kata tidur setelah mendapat awalan pe- berubah menjadi penidur. ”Penidur”, kata ini dapat berarti orang yang suka tidur dan
dapat juga berarti obat yang menyebabkan orang tertidur. Ambiguitas pada frase, misalnya, orang tua dalam bahasa Indonesia dapat bermakna orang tua kita yaitu ibu dan ayah, atau orang yang sudah tua. Untuk menghandiri ambiguitas
ini, kita harus menambahkan unsur penjelas seperti: orang tuaku atau orang tuanya untuk frase yang mengacu kepada ayah dan ibu. Untuk makna yang kedua dapat ditambahkan kata “yang” maka menjadi orang yang sudah tua. Ambiguitas pada kalimat, yang dapat dicontohkan sebagai berikut: Berdasarkan
keterangan direktur perusahaan industri tekstil itu tidak memenuhi syarat : Anak Dipukuli Konglomerat Balas Dendam (Judul Berita di Koran)
Ketaksaan lesikal merupakan ketaksaan yang mengacu kata yang memiliki makna lebih dari satu, dapat mengacu pada benda dan sesuai dengan lingkungan pemakaiannya. Ketaksaan lesikal dapat dilihat dari dua segi, yakni sebagai berikut. Polisemi misalnya a) Husni mempunyai hubungan darah dengan Hasan; b) Tubuhnya berlumuran darah akibat terjatuh dari sepeda motor.
Homonim
Dalam hal ini homonim adalah kata yang penamaan dan pengucapannya sama, tetapi artinya berbeda. Contoh: a) Saya bisa membeli rumah. (bisa bermakna “dapat” dan bermakna denotasi); b) Pamanku terkena bisa ular yang mematikan. (bisa
bermakna „racun‟ makna denotasi).
Source: PBSI