Dra. Agnes Adhani, M.Hum
Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Unika Widya Mandala Madiun
Sebagai perempuan saya terusik oleh berita tentang duyung berkemben sehingga menulis status di facebook sebagai berikut.
“Duyung di ujung Jakarta digugat pabrik jamu kuat, karena duyung mampu menggugah syahwat lelaki berotak maksiat. Duyung kini kau harus berkemben, agar otak mereka adem dan kembali mencari viagra dan obat kuat kepada Sumiyem bakul jamu, yang menyimpannya di balik kemben. Sumiyem bersaing dengan duyung dibalik selembar kemben”.
Masyarakat kita digugah dan diajak berpikir ngeres, memandang seksualitas perempuan, bahkan betina, karena duyung bukan manusia, sebagai sesuatu yang kotor, menggugah nafsu lelaki. Saya perlu bertanya kepada para lelaki, apakah batu, pohon, patung yang montok menyerupai atau menggambarkan kesuburan payudara mampu membangkitkan syahwatnya? Berapa persenkah yang seperti itu?
Otak ngeres ini perlu dibongkar. Pengenalan terhadap seksualitas dengan: (1) mengenal organ seksual yang kita miliki secara benar, (2)memahami naluri, perilaku, dan hubungan seksual secara baik, benar, dan bermoral, dan (3) mempertimbangkan konsekuensi dan tanggung jawab seksual secara matang dan religius sangat diperlukan. Masyarakat khususnya generasi muda harusnya memiliki pemahaman yang benar tentang cara memandang kaum bukan lelaki, tidak hanya sebatas objek seks dan pemuas nafsu.
Belajar memahami bahwa organ seks yang sudah matang menimbulkan naluri seks adalah wajar, bahkan harus disyukuri sebagai bentuk rahmat Tuhan, karena sehat, bukan sebagai sesuatu yang kotor. Yang paling penting adalah pemahaman tentang berhubungan seks yang mengandung konsekuensi dan tanggung jawab moral, bukan hanya sebatas kenikmatan sesaat. Kesadaran ini yang paling penting ditanamkan dalam pemikiran mereka.
Perempuan, bahkan hewan dan patung, tidak boleh dipasung dengan kerudung dan sarung yang brukut, agar tidak berperan sebagai ”penggoda” lelaki. Perilaku tak bermoral lelaki adalah tanggung jawabnya secara personal karena tak mampu mengelola syahwatnya, bukan kesalahan perempuan.
Bayi lahir melewati organ reproduksi ibunya dan mengawali hidupnya dengan kenikmatan air susu dari payudara ibunya, termasuk bayi laki-laki. Apakah mereka harus dipisahkan karena berbeda alat kelaminnya.
Orang yang hanya memikirkan alat kelaminnya dan menghakimi orang lain sebagai penyebab dosa, adalah orang yang tidak bermoral dan tidak beriman.
Memuliakan ibu sebagai induk yang melahirkan generasi berikutnya dan penerus kehidupan merupakan hal mutlak tak terbantahkan. Anak lelaki harus diajari untuk memandang perempuan sebagai ibunya. Kalaupun sedang berpacaran harus memandangnya sebagai calon ibu anaknya, sehingga menempatkan perempuan sebagai makhluk mulia dan bermartabat tidak akan dilanggar. Mari para lelaki belajar berpikir sehat dengan memuliakan perempuan sebagai Ibu, bukan sebagai pemuas nafsu yang bisa dipersalahkan bila nafsu tak mampu dikendalikan. Semoga kita masih menikmati keindahan karya seni tanpa pemikiran yang kotor penuh nafsu. Duyung aku rindu melihatmu tanpa kemben. (*)