“Pak,
itu lihat Pak bagus yo Pak yo?” ujarnya di belakangku. Suaranya mugil dan aku
pun tak kuasa menahan tawa ketika mendengar kekonyolan pertanyaanya. Ah tapi
aku harus mengharaginya. Usianya juga masih bocah, huruf “r” saja tak mampu diucapkan
dengan sempurna. Untuk itu aku harus menunggingkan senyum di bibir sembari
menahan geli tawa dari setiap tanda tanya di bibir anakku.
“Pak sampai Pak, wes teko panggone! Holeee!” ucapnya riang.
“Ayo pelan-pelan saja turunnya!” ujarku menimpali.
Kutegakkan kedua kakiku menapak di tanah sembari kukencangkan posisi sepedah yang sedang kunaiki ini. Tentu itu semua agar anakku dapat turun dan melompat dengan
mantap. Setelah ia turun, aku menuntunnya ke tepi alun-alun, ke tempat parkir sepedah. Aku sangat bersyukur karena sepedah ini teramat kuat dan tidak pernah
rewel rantainya, rodanya pun juga tak pernah bocor bahkan jarang sekali gembos.
Lewat sepedah inilah aku sering mengajak anakku jalan-jalan. Mengitari Idjen Boulevard hingga alun-alun kota. Terlebih setiap Malam Minggu, ia selalu minta
diantar pergi ke alun-alun. Dia seperti punya ritual sendiri ketika berada di tempat ini.
“Pak itu ada Pak Min!” ujar anakku sembari menunjuk ke arah penjual gulali di bawah pohon beringin. Ia menarik ujung bawah kaosku dan mengajakku segera bergegas pergi ke arah penjual gulali berambut putih itu.
“Nak, mulai sekarang kalau mau tumbas[1] gulali, Bapak tunggu dari sini saja ya? Ini uangnya!” kataku sembari
mengulurkan dua keping gulden[2]. Ia hanya menatapku nanar, seolah tak paham akan keputusanku.
“Bapak kenapa ndak ikut to? Bapak ndak sayang to?” tanyanya penasaran.
“Bapak ingin membuatmu lebih berani Nak! Coba lihat anak-anak yang beli gulali di sana, mereka bergerombol kan? Ndak ada orang tuanya kan?”
Mendengar pertanyaanku, dia menatap ke arah Pak Min yang dikerumuni anak-anak kecil. Ia lalu mengangguk seolah paham dan ingin mengiyakan semua tanya yang kulemparkan
padanya.
“Wes, sekarang kamu tumbas sendiri ya, sama kenalan juga biar kamu punya banyak teman. Nanti kalau mereka nakal, kamu cukup noleh ke belakang dan panggil Bapak, Bapak akan lari menolongmu!” ucapku meyakinkannya.
Ia tetap merenung sejenak, lalu menatapku dan mengulurkan jari kelingkingnya,”Janji ya Pak, Bapak ndak ninggalin aku?”
Betapa terkejutnya aku mendengar tanyanya yang lagi-lagi teramat polos. Kali ini aku tak dapat lagi menahannya, gelak tawaku pun menggelegar sembari kuulurkan jari kelingkingku menyambut kelingkingnya yang mungil.
“Jangan lupa beli dua, untuk Bapak juga! Itu uangnya cukup untuk beli dua!” teriakku saat dia mulai berlari.
Dia menoleh ke belakang, tersenyum lalu berlari ke arah Pak Min penjual gulali manis.
***
Dari
kejauhan aku melihat anakku semakin mantap langkahnya. Berlari ke arah
kerumunan penjual gulali. Dalam kedua bola mataku, aku melihat sayap yang
menyembul dari punggungnya. Sayap-sayap kebebasan, kemerdekaan, dan kebanggaan pada
tanah yang dipijaknya. Mungkin bayangan yang kuembankan di punggungnya terlalu
berat, tapi inilah faktanya. Aku yakin hampir semua Bapak muda sepertiku juga
memimpikan hal yang sama. Kami ingin merdeka dan kami ingin bebas dari segala
bentuk penjajahan ini. Oleh sebab itu, aku menamai anakku, Satriya Wira supaya
menjadi pejuang yang kelak memerdekakan bangsanya.
Kini
dari kejauhan kulihat ia sedang berdesak-desakan di antara teman-temannya. Ada
yang gempal, ada yang tinggi, tapi juga ada pula yang sekecil putraku. Kulihat
ia berani menyusup masuk di antara teman temannya dan tak butuh waktu lama
baginya untuk mengulurkan tangan ke arah Pak Min.
Dari
kejauhan aku bertepuk tangan, melihat semangat anakku berlipat ganda membeli
dua batang gulali. Ia pun segera beranjak dari kerumunan itu lalu berjalan ke
arahku. Tunggu dulu! Itu ada anak bertubuh gempal mengikutinya dari belakang!
Apa yang mau dilakukanya?!
“Hei!”
triakku.
Namun
percuma, suaraku tak sampai ke arahnya. Malam ini alun-alun teramat ramai.
Kulihat anak bertubuh gempal itu mendorong Satriya hingga tersungkur. Aku ingin
berlari menghampirinya. Menolong puteraku!
Tapi
sebentar! Aku jadi ingat sesuatu! Dulu aku juga pernah digebuki anak sebaya,
seusiaku karena memenangkan pertandingan kelereng. Saat itu, aku hanya hidup
bersama ibuk dan aku punya tugas melindungi ibuk. Itulah sebabnya aku
menghadapi anak-anak yang dulu mengeroyokku itu meski dengan penuh luka.
Akhirnya, mereka bersahabat denganku hingga sekarang. Jika aku menolong
Satriya, maka jiwanya akan semakin lembek dan dia tidak akan berkembang.
Baiklah aku akan mendekatinya secara sembunyi-sembunyi, kutunggu respons apa
yang dilakukannya menghadapi lawan pertamanya itu.
Kulihat
Satria jatuh! Ia memegangi lututnya, tampaknya memar. Anak gembul itu tertawa
melihat Satria. Kurang ajar! Satria menoleh ke arahku, dia mencariku. Mulut
Satria seolah berteriak, ia memanggil-manggil namaku. Aku tahu ia sedang
membutuhkanku, tapi aku yakin anak ini akan mampu mengatasi masalahnya sendiri.
Si
anak gembul biadab itu menendangnya kembali dan Satria tersungkur untuk kedua
kalinya. Gulalinya jatuh ke rerumputan. Gembul menginjak salah satu gulali yang
terkena lumpur tanah. Ia menginjak dengan teramat keji. Membuat gulali itu
rusak dan tampaknya tak bisa dimakan lagi. Satria menyaksikan peristiwa itu.
Dari kejauhan kulihat ia merundukkan kepala, sepertinya ia menangis. Aku harus
bergegas. Si gembul itu mendekat lagi ke arah Satria.
“Tunggu!”
Tiba
tiba langkahku terhenti. Aku melihat Satria mendongakkan kepalanya ke arah si
gembul itu. Memang benar dari kejauhan matanya mengeluarkan air mata, bibirnya
mangap terbuka sambil berteriak menangis memanggilku. Tapi tangan dan kakinya
seolah maju menghampiri Si Gembul itu. Maju seperti banteng yang sedng marah.
Ia memukul serampangan ke arah tubuh si Gembul itu. Kali ini kulihat Satria
benar-benar marah, dari kejauhan tampak Si Gembul itu tersungkur ke tanah. Ia
sejenak menoleh ke arah Satria lalu berlari terbirit-birit sampai terjatuh
berulang kali melihat Satria yang marah. Satria terus mengejarnya. Ia
benar-benar marah.
“Satria
hoi Satria!” ujarku mengejar Satria.
Ia
tak mau berhenti tapi untung langkahku lebih cepat. Kuraih tubuhnya, kuangkat
dan kugendong tapi ia malah meronta mita turun. Tangan dan kakinya
menendang-nendang serampangan seolah masih menuntaskan dendam pada si gembul.
Aku
mendekapnya dalam gendongan. Kubelai rambutnya dan kudekap semakin dalam.
“Cup
Nak, Cup jangan nangis lagi, sampun nggih[3]
Nak!” ujarku menenangkan.
Satria
masih sesenggukkan mengatur ritme nafasnya. Tangan dan kakinya sudah tidak
bergerak liar lagi. Kini ia hanya perlu menangkan diri. Sementara dari
kejauhan, aku menyaksikan anak gembul itu lari pada seorang lelaki yang
bertubuh gembul pula. Ia menangis sambil memeluk perut gembul lelaki dewasa
itu. Namun naas, lelaki itu malah menamparnya.
“Kamu
memalukan!” ujar lelaki itu pada anak gembul yang jatuh ke tanah karena
tamparan kerasnya. Aku pun pura-pura tak melihat kejadian itu karena aku
menduga bahwa mereka adalah ayah dan anak.
“Hey!”
teriak lelaki gembul itu ke arahku. Aku pun menoleh dan dia mengacungkan ibu
jari kepadaku.
Aku
hanya mengangguk tersenyum saja lalu pergi sembari mengacungkan ibu jari pula
padanya. Sepertinya ia menyiratkan pesan sportif mau mengkui kekalahan anaknya
dan menerima kemenangan anakku.
Meskipun
demikian kulihat Satria tak merasa sebagai pemenang, dia masih saja
sesenggukkan meskipun suaranya tak sekencang tadi. Aku pun menggendongnya ke
salah bawah tiang lampu berwarna kunang-kunang. Itu adalah tiang lampu favorit
Satria. Kami selalu menghabiskan waktu di situ sembari makan gulali. Namun kali
ini berbeda, bukan gulali yang kami makan tapi tangis Satria yang mulai mereda.
Kududukkan dia di sampingku.
Ia
menatap lampu itu dengan air yang masih berlinang di matanya.
“Pak,
aku minta maaf!” katanya.
“Minta
maaf kenapa Nak? Hari ini kamu jadi anak yang hebat bisa mengalahkan anak yang
tubuhnya lebih besar darimu!” ujarku.
“Aku
kalah Pak Sepurane[4]!”
katanya.
“Kalah
kenapa to Nak? Tadi anak itu sampe
ketakutan lho sama kamu Nak! Bahkan Bapaknya memberi ucapan pada kita dengan
mengacungkan jempol!” kutenangkan Satria.
“Aku
ndak bisa menjaga gulaline Bapak!” setelah berujaar demikian ia menunduk lagi
lalu menangis.
Sungguh
trenyuh aku mendengar jawabannya yang begitu polos. Aku pun harus segera
mengembalikan semangatnya yang pudar.
“Owalah Nak, jadi laki-laki itu ndak boleh gembeng, sampeyan harus bisa kuat baik
di saat menang atau kalah! Sampeyan tadi pemberani lho, tapi sayang sampeyan
nagis jadi musuh sampeyan tahu kelemahan sampeyan. Mulai hari ini, sampeyan
belajar ga boleh gembeng lagi ya, apalagi di depan Bapak, karena bagi Bapak,
Satria tetap pemenangnya hari ini. Janji nggih!” kini giliran aku yang
mengacungkan jari kelingking padanya.
“Janji
Pak,” sahutnya lirih sembari menyambut jari kelingkingku!
Tar!!!!
Suara
itu terdengar keras di atas kami, aku lalu mendekap anakku dan melindunginya. Kulihat
suasana mmenjadi gelap. Suara jeritan silih berganti. Lampu di atasku telah
rusak. Suara tembakan beruntun ke arah lampu-lampu alun-alun. Aku pun
menggendong Satria dan mengajaknya bersembunyi di pepohonan.
Sejenak
kemudian, terdengar bunyi menggelegar. Ada bom yang baru saja dilontarkan ke
arah gedung sebelah alun-alun. Aku berlari ke arah pohon beringin yang paling
rindang. Namun percuma, mortir-mortir dari serdadu yang sedang patrol
dilemparkan ke segala arah dengan membabi buta. Mereka datang dari perempatan
gedung Condordia. Di sisi lain, dari arah stasiun aku melihat puluhan laskar
nekat masuk ke arah alun-alun. Suasana sangat mencekam. Pemberontakan
dilakukan.
“Onok opo onok opo[5]?”
tanyaku pada salah seorang lelaki yang kutarik kaosnya.
“Belandanya
marah! Salah satu anggota mereka baru saja tertembak di samping Concordia!
Mereka lalu menangkap pelakunya, dan laskar daerah stasiun ndak trima Mas” ujar lelaki itu dan ia kembali lari
terbirit-birit.
Aku
mendekap dan menggendong anakku. Aku tetap berlari menuju ke tempat yang aman.
Di hadapanku hanya ada hotel pelangi, jalan ke sana sangat terbuka. Aku tahu
ada rasa perih menyayat di punggungku tapi tak kuhiraukan. Aku tetap mendekap
anakku. Sembari berlari, kudekap diasambil berkata. “Tenang Nak, aku akan
melindungimu sampai titik darah penghabisanku, kamu lebih berharga dari
gulaline Bapak!”.
Penulis adalah Ardi Wina Saputra
Dosen Sastra Indonesia
Universitas Widya Mandala Madiun
[1] beli
[2]mata uang Belanda
[3]Sudah ya
[4]maaf
[5]Ada apa
Source: PBSI